Film yang saya angkat dalam tugas ini adalah film berudul “ORPHAN”. Film ini adalah hasil garapan Leonardo Dicaprio sebagai produser, disutradarai oleh Jaume Collet-Serra dan ditulis oleh David Leslie Johnson. Film ini adalah film keenam yang digarap oleh Leonardo Dicaprio, sedangkan Jaume Collet-Serra pernah sukses menyutradarai film House of Wax. Film ini dibintangi oleh Vera Farmiga (sebagai Kate Coleman), Peter Sarsgaard (sebagai John Coleman), dan Isabelle Fuhrman (sebagai Esther). ORPHAN mengusung tema psychological thriller. Film ini berdurasi 2 jam 3 menit, pengambilan gambar dilakukan di sekitar kota Toronto, Port Hope Montreal dan juga Ontario, Kanada.
Film ini menceritakan tentang kehidupan sebuah keluarga yang mulai terguncang sejak sang istri, Kate, kehilangan anak dalam kandungannya. Kate mengalami depresi dan ia pun dihantui mimpi-mimpi buruk. Untuk mengatasi hal tersebut, Kate dan suaminya, John, memutuskan untuk pergi ke panti asuhan. Mereka berencana untuk mengadopsi salah satu anak yang ada di panti asuhan tersebut.
Setibanya mereka di panti asuhan, mereka memilih Esther, anak pendiam yang senang melukis dan menyendiri, untuk mereka adopsi. Lalu mereka membawa Esther pulang, dan Esther menjadi seorang anak yang manis di dalam keluarga Coleman. Kemudian beberapa kejadian-kejadian aneh mulai terjadi. Kate curiga hal ini berhubungan dengan kehadiran Esther di rumahnya. Ketika Kate berusaha membicarakan hal ini kepada keluarganya, ia tidak mendapatkan dukungan sama sekali, malah ia dianggap masih mengalami depresi.
Akhirnya Kate berusaha mencari kebenaran tentang apa yang ia pikirkan. Dan ketika ia memeriksa kamar Esther, ia menemukan keganjilan yang terdapat pada Alkitab Esther. Lalu ia pun menghubungi suster kepala panti asuhan tempat ia mengadopsi Esther dan menceritakan semua keanehan yang ia rasakan sejak kehadiran Esther. Keesokan harinya suster tersebut mendatangi rumah keluarga Coleman untuk menceritakan pada Late dan John apa yang ia temukan tentang Esther. John yang masih ragu akan cerita tentang Esther hanya mendengarkan sambil lalu, berbeda dengan Kate yang sejak awal mendengarkan dengan seksama.
Sehari setelah kedatangan suster kepala ke rumah, Kate dan John mendapatkan telepon dari salah seorang suster di panti asuhan yang mengabarkan bahwa kepala suster belum pulang sejak mengunjungi mereka. Lalu Kate dan John pun segera menghubungi polisi dan berusaha mencari suster kepala di jalan yang mungkin dilewati. Dan akhirnya mereka menemukan suster kepala dalam keadaan terbunuh, tanpa tahu siapa pembunuhnya. Kate yang masih menaruh rasa curiga kepada Esther, diam-diam mencari nama tempat yang ia temukan di Alkitab Esther. Betapa terkejutnya ia saat mengetahui Esther berasal dari sebuah Rumah Sakit Jiwa di Rusia. Belum sempat ia mengungkap fakta-fakta yang ia ketahui, anak laki-lakinya sudah celaka karena terjatuh dari rumah pohon yang terbakar.
Film ini mampu menciptakan nuansa nuansa ketegangan bagi penontonnya. GOTHIKA juga mengusung trik yang sama. Bedanya, ORPHAN ini terjebak pada obsesi untuk membuat suasana jadi sangat menegangkan sehingga banyak adegan 'mengejutkan' yang muncul di saat tak seharusnya. Terlalu banyaknya momen shocking ini malah membuat suasana tak lagi menegangkan karena trik ini jadi tak efektif lagi. Secara visual, pewarnaan didukung dengan pemilihan lokasi yang cenderung membawa kesan 'dingin' sebenarnya sudah bagus. namun sekali lagi terlalu banyaknya 'kejutan' jadi membuat suguhan visual ini jadi terasa sia-sia. Padahal kalau saja sang sutradara mau sedikit pelit soal yang satu ini, ORPHAN bisa jadi sebuah thriller yang sangat efektif.
Pemilihan pemeran pun cukup bagus. Vera Farmiga cukup efektif sebagai seorang wanita yang terlihat tak stabil dan ketakutan sementara Isabelle Fuhrman yang memerankan Esther pun cukup membuat bulu kuduk berdiri. Kejeniusan akting Isabelle Fuhrman yang aslinya berumur 12 tahun, boleh jadi karena ini bukanlah debut akting pertamanya. Fuhrman tercatat pernah bermain sebagai Grasshopper di film Hounddog dan juga menjadi hantu di serial Ghostwhisperred (mungkin itu sebabnya ia pandai mengeluarkan ekspresi serta mimik wajah dingin). Fuhrman juga pernah tampil dalam beberapa iklan serta mengisi suara untuk film dan TV show.
Jumat, 27 November 2009
Resensi Buku
Laskar Pelangi, walau dengan kualitas kertas di bawah buku Sang Pemimpi maupun Edensor, adalah ”ruh” awal yang diletakkan oleh Andrea untuk buku selanjutnya : Sang Pemimpi dan Edensor. Walau di dalam Sang Pemimpi dan Edensor, tokoh-tokoh awal Laskar Pelangi hanya disinggung sedikit, dan seakan sambil lalu. ”Ruh” awal sesungguhnya adalah jiwa atau pribadi si tokoh cerita : Ikal. Ikal tokoh tengil, cerdas, rendah hati, mudah penasaran terhadap sesuatu yang baru, suka bertualang, romantis, bertanggungjawab, mempunyai kegigihan dalam mencapai sesuatu, dan secara visual berambut keriting. Kegigihan dan kepercayaan akan tercapainya sesuatu digambarkan bukan serta merta tumbuh dari diri Ikal, namun di-”inisiasi” oleh tokoh-tokoh dan kondisi lingkungan Ikal sehari-hari. Tokoh Ikal terbaca sebagai Andrea Hirata. Karena Andrea bercerita mengalir seakan kenangan tersebut terekam kembali di pelupuk mata. Dalam sebuah situs Andrea mengaku novel ini awalnya hanya merupakan catatan kenangan terhadap masa kecilnya di Belitong (bahkan juga pengalaman kehidupan dewasa yang dialaminya baru-baru saja dalam Edensor, dan agak baru dalam Sang Pemimpi).
Novel ini mengangkat kisah perjalanan hidup sang penulis. Pada saat itu sang penulis akan diterima pada Sekolah Dasar Swasta dan mulai menjalani kehidupan bersekolah saat menduduki awal bangku SD sampai dengan tamat bangku SMP bersama dengan teman-teman sekelasnya yang hanya berjumlah 9 orang di sekolah yang bernama SD Muhammadiyah. Karena jumlah siswanya yang terlalu sedikit, hampir-hampir sekolah ini ditutup lantaran jumlah muridnya dalam 1 kelas tidak memenuhi kuota yang telah ditetapkan oleh Dinas Pendidikan saat itu yaitu minimal 10 murid siswa per kelasnya. Di saat yang mendebar-debarkan akhirnya ada seorang calon murid terakhir yang akhirnya diterima sehingga mengenapi angka ganjil menjadi 10 murid siswa. Perkenalanpun dimulai di antara mereka dengan menyebutkan nama masing-masing di depan ruang kelas. Lambat laun mereka menjadi sebuah “tim” yang solid dan kompak, mereka saling tolong-menolong apabila diantara mereka mendapatkan kesulitan. Mereka, Sang Penulis beserta teman-teman sekelasnya yang berjumlah 10 orang menyebut diri mereka Laskar Pelangi. Sekolah Muhammadiyah berada di pedalaman yang jauh dari pusat kota yang terletak di Pulau Belitong. Pulau Belitong bukanlah suatu pulau yang daratannya cocok untuk bertani dan bercocok tanam. Namun Pulau Belitong adalah pulau yang kaya akan kandungan timah. Sekolah di mana tempat mereka belajar, bukanlah sekolah elite dan mewah yang memiliki segala fasilitas pendukung pembelajaran seperti sekolah lainnya yang dideskripsikan di buku ini sebagai sekolah PN (Perusahaan Negara). Sekolah mereka hanya sebuah bangunan tua yang rapuh, reyot dan terbengkalai sehingga apabila kita melihatnya maka sedikitpun tidak akan menumbuhkan minat untuk belajar pada sekolah ini, dengan kata lain sekolah ini biasa disebut dengan sekolah Kampung. Strata ekonomi orang tua mereka adalah berasal dari golongan tidak mampu. Rata-rata mata pencaharian orang tua mereka berasal dari profesi buruh tambang dan nelayan. Di akhir cerita ini akan ada pendatang baru yang membuat kelompok mereka bertambah jumlahnya menjadi 11 orang. Seorang gadis tomboy dari keluarga kaya raya. Ayahnya adalah seorang berpendidikan tinggi dan memiliki pengaruh pada suatu perusahaan milik BUMN di Pulau Belitong. Sangat kontras bila membandingkannya dengan murid-murid Laskar Pelangi lainnya. Dengan kedatangan pendatangan baru yang bernama Flo pada akhir cerita ini, alur cerita semakin menarik dan petualangan kehidupan para Laskar Pelangi lebih banyak melewati cobaan, rintangan, tantangan, dan pertentangan yang pada saat membacanya akan membuat kita selalu penasaran seperti apa ujung dari akhir cerita ini.
Laskar Pelangi sesungguhnya adalah wajah kehidupan sebagian besar anak-anak Indonesia di era tahun 70 – 80’an, atau bahkan saat ini. Dalam Laskar Pelangi kita diajak oleh Ikal untuk bertualang bersama anggota Laskar Pelangi yang lain : Lintang, Trapani, Mahar, Borek, Kucai, Sahara, A Kiong, Syahdan, dan Harun. Sepuluh anak. Memenuhi syarat agar SD Muhammadiyah Belitong masih tetap ada! Dalam Laskar Pelangi ini Ikal berkenalan dengan A Ling, kekasih platonisnya, yang selalu menyemangati hidup Ikal hingga dalam buku Edensor.
Novel ini mengangkat kisah perjalanan hidup sang penulis. Pada saat itu sang penulis akan diterima pada Sekolah Dasar Swasta dan mulai menjalani kehidupan bersekolah saat menduduki awal bangku SD sampai dengan tamat bangku SMP bersama dengan teman-teman sekelasnya yang hanya berjumlah 9 orang di sekolah yang bernama SD Muhammadiyah. Karena jumlah siswanya yang terlalu sedikit, hampir-hampir sekolah ini ditutup lantaran jumlah muridnya dalam 1 kelas tidak memenuhi kuota yang telah ditetapkan oleh Dinas Pendidikan saat itu yaitu minimal 10 murid siswa per kelasnya. Di saat yang mendebar-debarkan akhirnya ada seorang calon murid terakhir yang akhirnya diterima sehingga mengenapi angka ganjil menjadi 10 murid siswa. Perkenalanpun dimulai di antara mereka dengan menyebutkan nama masing-masing di depan ruang kelas. Lambat laun mereka menjadi sebuah “tim” yang solid dan kompak, mereka saling tolong-menolong apabila diantara mereka mendapatkan kesulitan. Mereka, Sang Penulis beserta teman-teman sekelasnya yang berjumlah 10 orang menyebut diri mereka Laskar Pelangi. Sekolah Muhammadiyah berada di pedalaman yang jauh dari pusat kota yang terletak di Pulau Belitong. Pulau Belitong bukanlah suatu pulau yang daratannya cocok untuk bertani dan bercocok tanam. Namun Pulau Belitong adalah pulau yang kaya akan kandungan timah. Sekolah di mana tempat mereka belajar, bukanlah sekolah elite dan mewah yang memiliki segala fasilitas pendukung pembelajaran seperti sekolah lainnya yang dideskripsikan di buku ini sebagai sekolah PN (Perusahaan Negara). Sekolah mereka hanya sebuah bangunan tua yang rapuh, reyot dan terbengkalai sehingga apabila kita melihatnya maka sedikitpun tidak akan menumbuhkan minat untuk belajar pada sekolah ini, dengan kata lain sekolah ini biasa disebut dengan sekolah Kampung. Strata ekonomi orang tua mereka adalah berasal dari golongan tidak mampu. Rata-rata mata pencaharian orang tua mereka berasal dari profesi buruh tambang dan nelayan. Di akhir cerita ini akan ada pendatang baru yang membuat kelompok mereka bertambah jumlahnya menjadi 11 orang. Seorang gadis tomboy dari keluarga kaya raya. Ayahnya adalah seorang berpendidikan tinggi dan memiliki pengaruh pada suatu perusahaan milik BUMN di Pulau Belitong. Sangat kontras bila membandingkannya dengan murid-murid Laskar Pelangi lainnya. Dengan kedatangan pendatangan baru yang bernama Flo pada akhir cerita ini, alur cerita semakin menarik dan petualangan kehidupan para Laskar Pelangi lebih banyak melewati cobaan, rintangan, tantangan, dan pertentangan yang pada saat membacanya akan membuat kita selalu penasaran seperti apa ujung dari akhir cerita ini.
Laskar Pelangi sesungguhnya adalah wajah kehidupan sebagian besar anak-anak Indonesia di era tahun 70 – 80’an, atau bahkan saat ini. Dalam Laskar Pelangi kita diajak oleh Ikal untuk bertualang bersama anggota Laskar Pelangi yang lain : Lintang, Trapani, Mahar, Borek, Kucai, Sahara, A Kiong, Syahdan, dan Harun. Sepuluh anak. Memenuhi syarat agar SD Muhammadiyah Belitong masih tetap ada! Dalam Laskar Pelangi ini Ikal berkenalan dengan A Ling, kekasih platonisnya, yang selalu menyemangati hidup Ikal hingga dalam buku Edensor.
Kamis, 05 November 2009
Hari Senja
Hari Senja
Perlahan tapi pasti, gelap mulai menyelimuti langit. Jalan pun sudah terlihat lenggang, tak ada lagi kendaraan maupun orang-orang yang berlalu lalang di atasnya. Lampu-lampu rumah satu persatu mulai dipadamkan. Jam berdentang sepuluh kali, menunjukkan waktu sudah hampir tengah malam. Tetapi rumah tua itu belum memadamkan cahayanya, menandakan bahwa penghuninya masih terjaga.
Rumah tua itu tidak terlalu besar, tampak tidak terawat namun memiliki halaman yang indah, bukti bahwa penghuninya memiliki hati yang lembut dan menyayangi mahluk hidup. Dari sebuah jendela, tampak seorang ibu tua sedang duduk menekuni sesuatu. Ibu tua itu hidup hanya bersama seorang pembantu yang terkadang suka meninggalkannya di rumah sendirian.
Ibu tua itu baru saja selesai merajut, pekerjaannya setiap malam sembari menunggu kantuk datang. Lalu ia meletakkan hasil rajutannya di dalam sebuah kotak di atas meja dan beranjak ke ruang keluarga dengan tertatih. Di sana ia memandangi sebuah pigura besar yang tergantung di salah satu sisinya. Pigura yang berisi sebuah foto keluarganya, suami dan ketiga anak perempuannya. Ibu tua itu menghela napas panjang. Dari raut wajah rentanya, terlihat bahwa ia sedang merindukan keluraganya. Lama sekali ia memandangi foto keluarganya, sebelum akhirnya ia berjalan tertatih menuju kamar tidurnya.
Usianya berada di penghujung 60-an saat ini. Walaupun semangat selalu terpencar di wajahnya yang sudah dihiasi kerutan di sana-sini, tetap tidak mampu menutupi rasa lelahnya menghadapi kesunyian di hari senjanya. Semenjak ketiga anaknya menikah dan memilih tinggal di rumah suami mereka, serta sejak suaminya meninggal dunia karena sakit, rumah tua itu selalu terasa sunyi. Hanya Asha anak pembantunya yang sering datang saat akhir pekan tiba.
Memang ibu tua itu tak mengalami banyak kesulitan dalam hidupnya. Harta keluarga yang melimpah, ditambah uang bulanan dari ketiga anaknya yang tidak pernah absen dikirim, membuatnya memiliki uang berlebih untuk menghidupi dirinya sendiri. Tapi keadaan itu tak membuatnya menjadi orang yang sombong ataupun individualis. Malah seringkali ia mengundang para tetangga makan siang atau membuat pengajian. Sayangnya ia tetap tidak dapat menghilangkan kesunyian yang ia rasakan.
Tiap hari dilaluinya seolah waktu tidak ada artinya. Tidak ada hal-hal yang ia lakukan dirasanya cukup berarti. Bangun pagi-pagi. Setelah solat Subuh ia bersama pembantunya pergi berbelanja dan memasak. Lalu setelah itu ia hanya memantau pembantunya bekerja sembari merajut.
Ibu tua itu duduk di sebuah kursi tua di depan jendela. Dari sana ia dapat melihat anak-anak yang sedang berlarian mengejar layangan putus. Lalu kenangan-kenangan terdahulu kembali bermain di kepalanya.
“Mungkin ini yang selama ini dilupakan, bahwa suatu hari suami dan anak-anak akan meninggalkanku. Dan aku akan hidup sendiri.” Gumamnya sambil tersenyum getir.
Ibu tua itu meninggalkan jendela menuju ruang keluarga. Kembali ia memandangi foto keluarganya. Sebentar lagi Lebaran, anak-anak dan cucunya pasti akan datang mengunjunginya. Ia tidak akan merasa kesepian lagi. Ibu tua itu tersenyum senang. Wajahnya kembali berseri-seri.
Ia segera menyuruh pembantunya merapihkan rumah, membuat kue-kue dan berbelanja keperluan untuk menyambut anak cucunya. Membelikan cucu-cucunya mainan, baju dan camilan-camilan yang biasanya disukai anak-anak kecil. Dengan patuh pembantu itu menuruti sang majikan.
Sementara itu sang ibu tua bertingkah sangat berlebihan, Bahan makanan yang ada ditambah, takut tidak cukup katanya. Menyuruh pembantunya membersihkan rumah setiap hari. Membeli taplak, gorden dan keset baru. Membayar orang untuk mengecat tembok dan pagar rumah. Ia tampak sangat girang. Setiap saat ia melihat ke kalender sambil tersenyum. Lalu pandangannya beralih ke foto keluarganya, ia melihat semua anaknya tersenyum ke arahnya.
Dan akhirnya hari yang ia tunggu tiba. Anak-anaknya datang bersama para menantu dan cucunya. Tetapi ternyata harapannya tidak terwujud. Ia merasa asing di tengah keluarganya, ia tetap merasakan kesunyian yang biasa menyelimutinya. Ia tak dapat mengerti bahasa anak-anaknya yang banyak berubah. Kasar dan tidak sopan. Ibu tua itu merasa hatinya ditusuk-tusuk. Perih. Apalagi ketika mereka lebih memilih makan di restoran daripada memakan masakan sang ibu. Ia merasa ingin menangis.
Sehari setelah anak-anak, menantu dan cucunya pulang ke rumah mereka, ibu tua kembali melamun di dekat jendela. Tanpa disadarinya bulir-bulir airmata mulai membasahi kedua pipinya.
“Kalau dipikir-pikir luka hati ini bertambah parah. Kehadiran kalian bukannya mengobati lukaku tetapi justru memperlebar luka yang kurasakan. Jika aku tak ingat Tuhan, pasti aku lebih memilih untuk mati saja.” gumamnya sambil menghapus airmata.
Perlahan tapi pasti, gelap mulai menyelimuti langit. Jalan pun sudah terlihat lenggang, tak ada lagi kendaraan maupun orang-orang yang berlalu lalang di atasnya. Lampu-lampu rumah satu persatu mulai dipadamkan. Jam berdentang sepuluh kali, menunjukkan waktu sudah hampir tengah malam. Tetapi rumah tua itu belum memadamkan cahayanya, menandakan bahwa penghuninya masih terjaga.
Rumah tua itu tidak terlalu besar, tampak tidak terawat namun memiliki halaman yang indah, bukti bahwa penghuninya memiliki hati yang lembut dan menyayangi mahluk hidup. Dari sebuah jendela, tampak seorang ibu tua sedang duduk menekuni sesuatu. Ibu tua itu hidup hanya bersama seorang pembantu yang terkadang suka meninggalkannya di rumah sendirian.
Ibu tua itu baru saja selesai merajut, pekerjaannya setiap malam sembari menunggu kantuk datang. Lalu ia meletakkan hasil rajutannya di dalam sebuah kotak di atas meja dan beranjak ke ruang keluarga dengan tertatih. Di sana ia memandangi sebuah pigura besar yang tergantung di salah satu sisinya. Pigura yang berisi sebuah foto keluarganya, suami dan ketiga anak perempuannya. Ibu tua itu menghela napas panjang. Dari raut wajah rentanya, terlihat bahwa ia sedang merindukan keluraganya. Lama sekali ia memandangi foto keluarganya, sebelum akhirnya ia berjalan tertatih menuju kamar tidurnya.
Usianya berada di penghujung 60-an saat ini. Walaupun semangat selalu terpencar di wajahnya yang sudah dihiasi kerutan di sana-sini, tetap tidak mampu menutupi rasa lelahnya menghadapi kesunyian di hari senjanya. Semenjak ketiga anaknya menikah dan memilih tinggal di rumah suami mereka, serta sejak suaminya meninggal dunia karena sakit, rumah tua itu selalu terasa sunyi. Hanya Asha anak pembantunya yang sering datang saat akhir pekan tiba.
Memang ibu tua itu tak mengalami banyak kesulitan dalam hidupnya. Harta keluarga yang melimpah, ditambah uang bulanan dari ketiga anaknya yang tidak pernah absen dikirim, membuatnya memiliki uang berlebih untuk menghidupi dirinya sendiri. Tapi keadaan itu tak membuatnya menjadi orang yang sombong ataupun individualis. Malah seringkali ia mengundang para tetangga makan siang atau membuat pengajian. Sayangnya ia tetap tidak dapat menghilangkan kesunyian yang ia rasakan.
Tiap hari dilaluinya seolah waktu tidak ada artinya. Tidak ada hal-hal yang ia lakukan dirasanya cukup berarti. Bangun pagi-pagi. Setelah solat Subuh ia bersama pembantunya pergi berbelanja dan memasak. Lalu setelah itu ia hanya memantau pembantunya bekerja sembari merajut.
Ibu tua itu duduk di sebuah kursi tua di depan jendela. Dari sana ia dapat melihat anak-anak yang sedang berlarian mengejar layangan putus. Lalu kenangan-kenangan terdahulu kembali bermain di kepalanya.
“Mungkin ini yang selama ini dilupakan, bahwa suatu hari suami dan anak-anak akan meninggalkanku. Dan aku akan hidup sendiri.” Gumamnya sambil tersenyum getir.
Ibu tua itu meninggalkan jendela menuju ruang keluarga. Kembali ia memandangi foto keluarganya. Sebentar lagi Lebaran, anak-anak dan cucunya pasti akan datang mengunjunginya. Ia tidak akan merasa kesepian lagi. Ibu tua itu tersenyum senang. Wajahnya kembali berseri-seri.
Ia segera menyuruh pembantunya merapihkan rumah, membuat kue-kue dan berbelanja keperluan untuk menyambut anak cucunya. Membelikan cucu-cucunya mainan, baju dan camilan-camilan yang biasanya disukai anak-anak kecil. Dengan patuh pembantu itu menuruti sang majikan.
Sementara itu sang ibu tua bertingkah sangat berlebihan, Bahan makanan yang ada ditambah, takut tidak cukup katanya. Menyuruh pembantunya membersihkan rumah setiap hari. Membeli taplak, gorden dan keset baru. Membayar orang untuk mengecat tembok dan pagar rumah. Ia tampak sangat girang. Setiap saat ia melihat ke kalender sambil tersenyum. Lalu pandangannya beralih ke foto keluarganya, ia melihat semua anaknya tersenyum ke arahnya.
Dan akhirnya hari yang ia tunggu tiba. Anak-anaknya datang bersama para menantu dan cucunya. Tetapi ternyata harapannya tidak terwujud. Ia merasa asing di tengah keluarganya, ia tetap merasakan kesunyian yang biasa menyelimutinya. Ia tak dapat mengerti bahasa anak-anaknya yang banyak berubah. Kasar dan tidak sopan. Ibu tua itu merasa hatinya ditusuk-tusuk. Perih. Apalagi ketika mereka lebih memilih makan di restoran daripada memakan masakan sang ibu. Ia merasa ingin menangis.
Sehari setelah anak-anak, menantu dan cucunya pulang ke rumah mereka, ibu tua kembali melamun di dekat jendela. Tanpa disadarinya bulir-bulir airmata mulai membasahi kedua pipinya.
“Kalau dipikir-pikir luka hati ini bertambah parah. Kehadiran kalian bukannya mengobati lukaku tetapi justru memperlebar luka yang kurasakan. Jika aku tak ingat Tuhan, pasti aku lebih memilih untuk mati saja.” gumamnya sambil menghapus airmata.
Langganan:
Postingan (Atom)