Kamis, 05 November 2009

Hari Senja

Hari Senja

Perlahan tapi pasti, gelap mulai menyelimuti langit. Jalan pun sudah terlihat lenggang, tak ada lagi kendaraan maupun orang-orang yang berlalu lalang di atasnya. Lampu-lampu rumah satu persatu mulai dipadamkan. Jam berdentang sepuluh kali, menunjukkan waktu sudah hampir tengah malam. Tetapi rumah tua itu belum memadamkan cahayanya, menandakan bahwa penghuninya masih terjaga.

Rumah tua itu tidak terlalu besar, tampak tidak terawat namun memiliki halaman yang indah, bukti bahwa penghuninya memiliki hati yang lembut dan menyayangi mahluk hidup. Dari sebuah jendela, tampak seorang ibu tua sedang duduk menekuni sesuatu. Ibu tua itu hidup hanya bersama seorang pembantu yang terkadang suka meninggalkannya di rumah sendirian.

Ibu tua itu baru saja selesai merajut, pekerjaannya setiap malam sembari menunggu kantuk datang. Lalu ia meletakkan hasil rajutannya di dalam sebuah kotak di atas meja dan beranjak ke ruang keluarga dengan tertatih. Di sana ia memandangi sebuah pigura besar yang tergantung di salah satu sisinya. Pigura yang berisi sebuah foto keluarganya, suami dan ketiga anak perempuannya. Ibu tua itu menghela napas panjang. Dari raut wajah rentanya, terlihat bahwa ia sedang merindukan keluraganya. Lama sekali ia memandangi foto keluarganya, sebelum akhirnya ia berjalan tertatih menuju kamar tidurnya.

Usianya berada di penghujung 60-an saat ini. Walaupun semangat selalu terpencar di wajahnya yang sudah dihiasi kerutan di sana-sini, tetap tidak mampu menutupi rasa lelahnya menghadapi kesunyian di hari senjanya. Semenjak ketiga anaknya menikah dan memilih tinggal di rumah suami mereka, serta sejak suaminya meninggal dunia karena sakit, rumah tua itu selalu terasa sunyi. Hanya Asha anak pembantunya yang sering datang saat akhir pekan tiba.

Memang ibu tua itu tak mengalami banyak kesulitan dalam hidupnya. Harta keluarga yang melimpah, ditambah uang bulanan dari ketiga anaknya yang tidak pernah absen dikirim, membuatnya memiliki uang berlebih untuk menghidupi dirinya sendiri. Tapi keadaan itu tak membuatnya menjadi orang yang sombong ataupun individualis. Malah seringkali ia mengundang para tetangga makan siang atau membuat pengajian. Sayangnya ia tetap tidak dapat menghilangkan kesunyian yang ia rasakan.

Tiap hari dilaluinya seolah waktu tidak ada artinya. Tidak ada hal-hal yang ia lakukan dirasanya cukup berarti. Bangun pagi-pagi. Setelah solat Subuh ia bersama pembantunya pergi berbelanja dan memasak. Lalu setelah itu ia hanya memantau pembantunya bekerja sembari merajut.

Ibu tua itu duduk di sebuah kursi tua di depan jendela. Dari sana ia dapat melihat anak-anak yang sedang berlarian mengejar layangan putus. Lalu kenangan-kenangan terdahulu kembali bermain di kepalanya.

“Mungkin ini yang selama ini dilupakan, bahwa suatu hari suami dan anak-anak akan meninggalkanku. Dan aku akan hidup sendiri.” Gumamnya sambil tersenyum getir.

Ibu tua itu meninggalkan jendela menuju ruang keluarga. Kembali ia memandangi foto keluarganya. Sebentar lagi Lebaran, anak-anak dan cucunya pasti akan datang mengunjunginya. Ia tidak akan merasa kesepian lagi. Ibu tua itu tersenyum senang. Wajahnya kembali berseri-seri.

Ia segera menyuruh pembantunya merapihkan rumah, membuat kue-kue dan berbelanja keperluan untuk menyambut anak cucunya. Membelikan cucu-cucunya mainan, baju dan camilan-camilan yang biasanya disukai anak-anak kecil. Dengan patuh pembantu itu menuruti sang majikan.

Sementara itu sang ibu tua bertingkah sangat berlebihan, Bahan makanan yang ada ditambah, takut tidak cukup katanya. Menyuruh pembantunya membersihkan rumah setiap hari. Membeli taplak, gorden dan keset baru. Membayar orang untuk mengecat tembok dan pagar rumah. Ia tampak sangat girang. Setiap saat ia melihat ke kalender sambil tersenyum. Lalu pandangannya beralih ke foto keluarganya, ia melihat semua anaknya tersenyum ke arahnya.

Dan akhirnya hari yang ia tunggu tiba. Anak-anaknya datang bersama para menantu dan cucunya. Tetapi ternyata harapannya tidak terwujud. Ia merasa asing di tengah keluarganya, ia tetap merasakan kesunyian yang biasa menyelimutinya. Ia tak dapat mengerti bahasa anak-anaknya yang banyak berubah. Kasar dan tidak sopan. Ibu tua itu merasa hatinya ditusuk-tusuk. Perih. Apalagi ketika mereka lebih memilih makan di restoran daripada memakan masakan sang ibu. Ia merasa ingin menangis.

Sehari setelah anak-anak, menantu dan cucunya pulang ke rumah mereka, ibu tua kembali melamun di dekat jendela. Tanpa disadarinya bulir-bulir airmata mulai membasahi kedua pipinya.

“Kalau dipikir-pikir luka hati ini bertambah parah. Kehadiran kalian bukannya mengobati lukaku tetapi justru memperlebar luka yang kurasakan. Jika aku tak ingat Tuhan, pasti aku lebih memilih untuk mati saja.” gumamnya sambil menghapus airmata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar